
Ini cerita beberapa hari lalu,
saat saya tengah mengerjakan aktivitas rutin di meja kantor.
Dia datang dengan tas punggungnya berwarna hitam, agak lusuh. Dia berdiri di depan pintu ruangan kantor dimana saya adalah salah satu dari yang bekerja di sana. Tubuhnya kurus dan wajahnya menyiratkan kebingungan yang amat sangat. Salam itupun terucap dari lisannya.
Dia: "Assalamu'alaikum"
Saya: "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh"Diam.
Saya jadi bingung. Sama halnya dengannya yang telah bingung dari tadi.
Saya bingung mengapa ada orang sebingung ini berada di kantor sebuah radio.
Apakah dia mencari seseorang?
Saya pikir dia terlambat untuk menghadiri pertemuan 2 tamu sebelumnya yang datang untuk bertemu dengan seorang teman di kantor. Jadi, saya menunggu reaksinya saat ia melirik ruangan sebelah dimana tamu yang lain telah duduk manis di sana sambil berbincang seputar program acara. Ternyata tidak. Dia kembali melihat saya dengan raut yang cukup aneh.
Saya: "Ya, cari siapa? Ada yang bisa dibantu? Silakan duduk."
Dia: "Eh, iya."
Kami pun duduk dan sementara itu rekan saya satu ruang masih berada di mejanya. Saya yang kebagian jatah menyambut tamu yang unik itu. Dia bingung lagi. Itu sangat tampak dari gesture, bahasa tubuhnya. Saya ulangi pertanyaan saya, mungkin dia sudah lebih tenang.
Saya: " Ada yang bisa dibantu?"
Dia: "Ehm...(masih dengan bahasa tubuh yang gugup)...Bisa masukkan proposal?
Oh, proposal toh. Biasanya yang kami terima adalah proposal kerja sama dari berbagai lembaga yang hendak mempublikasikan kegiatan mereka. Sistem barter. Kami publikasikan kegiatan mereka, dan mereka pasang logo radio di media publikasi mereka.
Dia: "Ehh...ini...(sambil dia keluarkan proposal dari tas hitamnya yang saya tahu tak baru lagi).
Proposal itu tepat berada di depanku. Diserahkannya tepat setelah ia keluarkan dari tas yang ia letakkan di meja tamu. Seperti berat saja tas itu hingga ia letakkan di atas meja. Yang saya tahu jika kita bertemu dengan mitra kerja apalagi yang pertama kali bertemu, maka meletakkan tas di samping tubuh dan tidak di atas meja adalah bahasa tubuh yang berarti penampilan yang meyakinkan. Tak tahulah.
Oh, ternyata. Saya kira dia berasal darimana. Dari lembaga antah berantah yang mana. Menugaskan seorang dia yang sepertinya masih sangat hijau untuk bertemu (calon) mitra kerja. Bahasa tubuh yang tidak dapat membohongi siapapun di hadapannya bahwa dia sangat gugup. Dia seperti belum terbiasa, amat sangat belum terbiasa dengan pekerjaan semacam tadi. Dia belum tahu bagaimana sikap terbaik untuk meyakinkan orang lain di depannya namun dia berusaha untuk bertanggung jawab, melaksanakan tugas yang diembankan dari seniornya di KAMMI.

Ya, dia ternyata adik saya. Mungkin lebih tepatnya saudara sepejuangan di KAMMI. Proposal yang dia bawa adalah proposal Daurah Marhalah I KAMMI Komisariat Untan. Ya, kampus dimana saya dulu bergabung untuk pertama kalinya dengan ormas itu. Banyak kenangan bersama KAMMI. Dan semua seperi berubah sejak saya melihat lambang KAMMI di proposal yang dia pegang itu.
Saya: "Proposal apa? Boleh saya lihat?"
Saya pun membuka surat pengantarnya. Permohonan bantuan dana. Tertulis dengan bold. Lantas secara refleks saya memanggil rekan kerja yang masih sibuk di mejanya, "Teh...ehmmmm..." Kembali tak sampai beberapa detik saya dapat menguasai diri. Buat apa saya panggil rekan saya itu jika saya telah tahu jawabannya.
Saya: "Maaf, biasanya kami melayani proposal permohonan publikasi. Bukan permohonan dana. Jadi, kalau untuk permohonan publikasi insya Allah kami pertimbangkan."
Dia pucat, masih bingung. Tidak banyak bicara namun tubuhnya berkata, dia canggung.
Selepas itu yang ada saya jadi memperhatikan dia. Apa yang saya pikirkan adalah, beginilah saya beberapa tahun lalu. Ketika saya baru bergabung di kepanitiaan, mendapat amanah penyebaran proposal permohonan dana. Masuk ke instansi satu ke kantor lain. Besikap gugup yang kuran lebih sama, canggung yang tidak jauh beda.
Ah, waktu terus berjalan. Saat ia telah pergi dan saya kembali di meja untuk melanjutkan pekerjaan, masih saya ingat bahwa saya pun sama seperti dia, dulu. Sungguh, saya melihat diri saya ada padanya.
Subhanallah ,betapa kita baiknya menghormati proses orang lain menuju lebih baik.
Sebab kita pun dulunya ingin dihormati saat tengah berproses dalam sebuah episode hidup.