Selasa, Oktober 20, 2009

Menulislah dan Bagi Kekuatan Itu

Seperti ada kekuatan yang mendorong saya untuk menulis. Saya tidak tahu darimana harus memulai tulisan ini. Mungkin pertama kalinya kepada Meichan, yang sudah begitu baiknya meminjamkan Catatan Hati Bunda-nya Asma Nadia tepatnya 12 hari yang lalu, 6 Oktober 2009. Karena 2 hari setelah itu, habis ifthar bareng Mery, my younger sista, di Pizza Hut, kulangkahkan kaki mantap ke Gramedia untuk membeli buku yang sama.

Waktu itu Selasa, 6 Oktober 2009, Meichan alias Mimi Chatz Carpenter mau siaran di studio. Karena belum mulai, saya tanyakan perihal program Samudra Hidayah yang perlu konsep baru. "Kak, kayanya Mimi udah dapat bukunya. Catatan Hati Bunda. Ambil ja di plastik di Ruang Penyiar," jawab muslimah mungil nan manis itu.

Keluar studio langsung ke Ruang Penyiar dan segera saya dapatka buku itu. Tidak sulit untuk kemudian asyik masyuk dengan buku garapan Mbak Asma pentolan Forum Lingkar Pena itu. Kisahnya sederhana, bahasanya mengalir karena bercerita tentang keluarga kecilnya, dan mengalirlah butir keharuan dari pelupuk mata saya. Ah, betapa cengengnya. Sudah lama tidak menangis seperti itu saat membaca buku. Lalu saya menikmati buku itu. Hingga saya pun tidak menyesal untuk merogoh sekitar 50 ribu untuk buku tersebut.

Saya mau ngucapin terimakasih jazakillah buat Ukhtiy Meichan. Karena dia sudah pinjami saya buku itu, lantas saya jadi beli juga (soalnya ga puas kalo cuma minjem ;-) dan saya sudah khatam beberapa hari lalu. Geloranya saya rasakan, gelora dan hasrat untuk menulis. Sebelum mengkhatamkan buku Catatan Hati Bunda sebenarnya saya sudah punya keinginan yang kuat untuk menulis. Kenapa? Entahlah. Mungkin kareba saat itu saya sedang membaca Catatan Hati Seorang Istri-nya Asma Nadia juga.

Sungguh, buku itu tidak bisa dibilang ringan. Sekalipun bentuk tulisannya seperti cerita yang mengalir tetapi kisah-kisah para perempuan di dalamnya membuat saya harus menjadi hero buat diri saya sendiri. Kisah tidak indah para istri, yang ditinggal pergi sang suami entah karena panggilanNya ataukah panggilan wanita lain.
Yang jelas buku itu membuat saya menangis (lagi), salah satunya karena, saya seperti tersadarkan bahwa keindahan episode pernikahan bersama suami sah-sah saja jika dirampas begitu saja oleh skenario Allah Yang Maha Mengatur.

Jika Anda membaca satu kalimat yang tertera dalam pengantar Mbak Asma di Catatan Hati Seorang Istri maka Anda akan dapati bahwa beliau juga mengajak para pembacanya terutama perempuan untuk menulis juga. Bukan hanya membaca bukunya. Karena bisa jadi tulisan itu dapat menuntun jalan bagi perempuan lain yang sedang tersesat di masalah yang serupa.

Oleh karenanya, di sinilah saya kini. Saya sudah bosan melihat postingan terakhir di blog ini adalah cerita bulan-bulan kemarin. Saya ingin posting baru dan baru. Tentang hidup saya sekarang. Tentang perasaan saya sekarang. Tentang apa yang saya pikirkan sekarang. Karena saya tidak pernah tahu, dari kalimat saya yang mana perempuan atau Anda yang membaca blog ini akan mendapatkan kekuatan.

Ya, kekuatan. Bukankah kekuatan untuk menghadapi hidup ini yang sangat kita butuhkan? Kita tahu adalah sebuah niscaya kita akan hadapi masalah. Namun bagaimana mempersiapkannya? Bagaimana jika takdir kelabu itu dalam sekejap memeluk kita? Sanggupkah? Karenanya, mari menulis dan mari kita bagi kekuatan itu. Hatta, kekuatan itu sangat ringkih. Mari berbagi, saudaraku.




1 komentar:

Dini Haiti Zulfany mengatakan...

deuh, just like what I stated here kak na ^^

jika rindu menulis, tuliskanlah..

jika rindu suami, teleponlah..

jika belum punya suami? menikahlah :P

**yang trakhir spesial buat diri sendiri**